Tidak
ada yang lebih menggeliasahkan bung hatta ketika dia menulis sebuah artikel
panjang di majalah daulat ra'jat pada tahun 1993. Ia menulis betapa
berbahayanya ketika kedaulatan rakyat salah di pahami, kemerdekaan ditafsirkan
sebagai sebuah kehendak bebas. Orang dapat berbuat sekehendaknya. Peraturan
dianggap membelenggu kerena akan membatasi hak individual.
Hatta
menulis, banyak orang lupa bahwa kemerdekaan juga mempunyai batas, yang
diaadakan oleh pergaulan social dan mufakat bersama. " mereka menyangka,
bahwa kemerdekaan dalam pergaulan hidup bersama-sama saja artinya dengan
leluasa berbuat sekehendaknya" pendapat itu hingga kini memang terus
terasa kebenarannya. Apalagi ketika keadaan lima tahun terakhir ini kondisi
berubah semakin carut marut. Dan apa yang digelisahkan filsuf yunani, Socrates,
bahwa demokrasi kadang tidak jauh berbeda dengan anarkhi, seringkali juga ada
benarnya. Demokrasi malah tampil dalam wajah buruk serta sangat berbeda dengan cita-cita idealnya.
Di
sisi lain , keadaan rill masyarakat semenjak hatta menulis artikel itu memang
belum banyak berubah. Pendidikan rakyat tetap saja berjalan tertatih, enam
puluh persen populasi rakyat indoneasia hanya tamat sekolah dasar. Sebagian
kecil tamat SMP dan SMA. Sisa bagian lebih kecil lagi, yakni tiga persen, mampu
bersekolah hingga jenjang perguruan tinggi.
Celakanya,
demokrasi kini sudah terlanjur dianggap sebagai system kebenaran sebuah Negara
modern. Publik internasional sudah sampai pada kesimpulan bahwa sebuah Negara
beradap harus menjalankan prinsip domokrasi. Posisi ini memang berimbas kepada
Indonesia. Meski tertatih, dengan keadaan ekonomi dan kualitas pendidikan
amburadul, Indonesia mencoba melaksanakannya.
Pada
titik inilah muncul pertanyaan mendasar; mampukah demokrasi dijalankan dengan
baik bila keadaan kesadaran dan pendidikan rakyat tidak terlalu mencukupi?
Demokrasi jelas butuh kesadaran yang cukup atas pilihan-pilihan. Demokrasi juga
membutuhkan keseimbangan pengertian antara kesadaran kolektif dan individual,
penyatuan antara pikiran dan hati. Demokrasi adalah sebuah kewarasan. Itulah
idealnya.
Selain menyisakan problema kesadaran,
demokrasi juga membutuhkan terjaganya sebuah system kesejahteraan rakyat yang
konkret. Bala kita lihat pada keadaan dunia sekarang ini, demokrasi ternyata
hanya bias berhasil dengan baik di Negara Negara yang 'mapan' kondisi
ekonominya. Sebaliknya, bagi Negara-negara terbelakang kadang diperhalus dengan
sebutan Negara dunia ketiga demokrasi malah tidak banyak membawa hasil yang
cukup baik. Dalam posisi ini demokrasi
malah menjadi pihak terdakwah sebagai penyebab carut marutnya keadaaan. Contoh
konkritnya bisa dilihat pada nasib Negara-negara afrika, pilipina, india ,
brasil, Argentina, Uni Sovyet, dan lainnya.
Dalam
hal inilah tampaknya kita perlu mengkaji kembali asumsi yang menyatakan bahwa
demokrasi tidak bisa dilakukan bila perut rakyat dalam keadaan lapar. Memang
slogan ini tidak benar seluruhnya karena dilain waktu ketika keadaan membaik,
rakyat tidak sekedar butuh makan tetapi juga butuh kebebasan bagi pemenuhan
eksistensi dirinya.
Bagi
Indonesia sendiri, nasib pengembangan demokrasi memang tetap saja menyedihkan.
Semula, setelah orde baru tumbang, rakyat sempat berharap banyak demokrasi
dapat menjadi obat mujarab untuk mengatasi keadaan. Namun, faktanya konflik
malah merebak dimana-mana. Rusuh akibat kekacauan dalam penyelengaraan
pilkada,kekerasan fisik mengatasnamakan agama akibat beda pendapat dan aliran,
dan berbagai konflik lainnya. Negara diancam separatism yang akut. Kadangkala
kebebasan menjadi begitu mutlak. Suasana menjadi gaduh dengan silang pendapat.
Pergantian figur kepala pemerintahan berjalan sangat cepat. Dalam kurun waktu
lima tahun terjadi empat kali pergantian presiden.
Krisis
kepercayaan terhadap demokrasi semakin besar ketika partai politik yang menjadi
instrumen utama demokrasi gagal menampilkan wajah ramahnya. Para politisi malah
terlibat konflik hal-hal remeh temeh. Bahkan, mereka pun tidak segan-segan
melakukan berbagai macam kecurangan. Lihatlah pola mereka melakukan 'wisata'
studi banding keluar negeri dan tuntutan kenaikan gaji ditengah krisis yang
membelit rakyat. Ironis! Wajar bila sebagian orang berpendapat, demokrasi kini
malah berubah menjadi ancaman terhadap keamanan.
Meretas Jalan Baru
Di
tengah suasana kebuntuan demikian inilah, mau tidak mau harus segera dicari
formula untuk mengubah keadaan. Perbaikan kualitas pendidikan dan kesadaran
rakyat memang tidak akan dapat dilakukan hanya dalam waktu sekejab. Begitu juga
dengan perbaikan ekonomi. Melihat begitu kompleksnya masalah, maka dapat pula
dipastikan hasil akhir dari segala perubahan yang kini tengah dilakukan itu
menuntut waktu yang panjang. Tidak bisa satu dua hari saja. Paling tidak akan
memakan waktu hingga lima tahun lagi ke depan.
Ancaman
terhadap keamanan itu, akan mencapai titik paling krusial setelah tahun 1999.
Waktu itu masa reformasi telah berlangsung satu dasawarsa. Dan, apa bila nanti
kondisi kehidupan rakyat tetapp saja tidak membaik, maka dipastikan bakal
terjadi sebuah 'ledakan sosial'. Berkaca dari pengalaman yang terjadi diberbagi
Negara, bahwa masa transisi tidak akan berlangsung hingga sepuluh tahun
lamanya. Akibatnya, bila keadaan tidak membaik, maka akan terjadi berbagi hal
yang sama sekali tidak terduga, misalnya datangnya seorang tiran baru atau terpecahnya
Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Contoh ini sudah terjadi dinegara
perancis dengan naiknya napoleon, Mussolini, dan dijerman dengan hadirnya Adoli
Hitler ke atas singgasana kediktatoran.
Pada
muculnya dictator Mussolini misalanya, gejala yang ada dalam masyarakat itali
pada tahun 1993 itu sangat mirip dengan keadaan Indonesia masa kini. Laangkah
pertama Mussolini ke Fasisme itu dilakukan setelah adanya kebencian yang sangat
luar biasa dari rakyat itali kepada politisi yang korup. Kegundahan rakyat itu
ditangkapnya secara cerdik, secara terbuka. Mussolini mengatakan, ".,.
kalau saya, saya benar-benar yakin bahwa untuk mewujudkan kesejahteraan itali
itu diperlukan dengan menembak beberapa lusin anggota parlemen dan memenjarakan
seumur hidup sepasang menteri, paling sedikit…!"
Persis dengan kondisi Indonesia, keadaan
politik di itali sebelum munculnya rezim fasis Mussolini juga sangatlah rapuh.
Kemampuan sumber daya politisinya sangat rendah. Partai politik memang banyak
jumlahnya, tapi semuanya hanya bisa bertengkar. Akibatnya, posisi pemerintahan
pun jatuh bangun. Dalam waktu empat tahun terjadi tujuh kali pergantian
kepemimpinan Negara. Dua lembaga penting yakni militer dan pengadilan sama
sekali berada di luar control. Posisi parlemen tidak ubahnya seperti took omong
kosong (Quasselbude) sehingga lembaga ini hanya menjadi bahan caci maki
anak sekolah.
Kasus
yang sama juga terjadi di jerman sebelum munculnya hitler ke atas singgasana
kekuasaan. Dia hadir ketika keadaan Negara begitu carut marut. Jerman dicabik
cabik perang dan anarkhi, ekonomi hancur, pengangguran meledak. Disinilah
hitler datang, meski dengan modal 'cekak' hanya berlatar belakang veteran
perang dengan pangkat kopral. Ia memanfaatkan rasa frustasi rakyat terhadap
situasi ketidakstabilan akibat demokrasi yang dijalankan dengan cara-cara yang
tidak bertanggung jawab.
Adanya
sejarah kelam itulah, maka kini harus ditemukan solusi untuk mencegah munculnya
perasaan frustasi terhadap arti dan makna demokrasi. Satu jalan baru yang harus
dilakukan untuk menyelamatkannya adalah melalui penegakan hokum yang benar
benar konkret. Kebebasan yang mengatasnamakan kedaulatan rakyat harus diberi
rel dan rambu-rambu agar sebuah system tertib, sosial yang baik dapat terwujud.
Mereka yang melanggar hukum harus dikenai pidana. Sebaliknya, pribadi-pribadi
yang jujur menadapat penghargaan.
Dalam
soal ini memang harus terjadi kontrak sosial baru antara rakyat dengan
pemerintah. Jaminan atas kebebasan dan hak asasi harus pula tegas-tegas
dilaksanakan sehingga konstitusi yang didalamnya berisi berbagai cita-cita
ideal tidak menjadi 'barang' yang mati. Yang penting bagi pemimpin harus
memberi contoh bahwa dirinya adalah fiqur yang patut diteladani. Ketika kedaan
seperti itu dapat diwujudkan, maka demokrasi nantinya akan mampu berkembang
menjadi alat kontrol sosial. Lebih konkret lagi, meminjam temuan dei pemenang
penghargaan nobel ekonomi dari India, Armaytha Zen, demokrasi akan mampu
melindungi rakyat dari bahaya ketidakadilan dan korupsi, misalnya ancaman
bahaya busung lapar.
Pengalaman
sejaah kita sendiri pun sudah mengajarkan banyak kearifan. Terkungkungnya
kebebasan dan munculnya kediktatoran, baik itu terjadi dimasa orde lama maupun
orde baru, terbukti telah memunculkan banyak masalah keamanan. Hal ini dapat
dilihat dengan merebaknya ancaman gerakan bersenjata dari berbagi daerah dan
kelompok masyarakat. Mulai dari pemberontakan berbasis ideologi seperti PKI dan
DI/TII, pemberontakan PRRI dan Permesta, atau kekerasan yang lebih bersikap
komunal seperti peristiwa tanjung priok, haur koneng, Warsidi, Republika Maluku
Selatan (RMS), Gerakan Aceh Merdeka, atau Papua Medeka.
Kenyataan
inilah yang perlu disadari semenjak sekarang. Memang pada sebagian masyarakat
jawa, perbedaan pendapat yang itu abash dalam budaya demokrasi seringkali
dipandang sebelah mata karena melanggar harmoni. Cara pengangkatan pemimpin
dengan melalui pemungutan suara terbanyak itu juga dianggap tidak lazim, sebab
menurut mereka seorang pemimpin diangkat berdasarkan wahyu yang berasal dari
tuhan. Dengan kata lain, semboyang demokrasi seperti yan pernah menjadi
semboyang revolusi perancis ditahun 1789, Liberti (Kemerdekaan), Egalite
(Persamaan), dan Fraternite (persaudaraan) juga bukanlah kultur
bangsa kita.
Akhirnya,
rakyat secara bersama-sama mulai sekarang ini memang harus dibangunkan jiwanya.
Mereka secara perlahan perlu mendapat pencerahan bahwa bila masing-masing
individu tidak dapat menahan diri, maka yang akan timbul hanyalah kekacauan.
Para pelanggar hukum dan politisi tidak bermoral harus mendapat sanksi yang
keras. Negara harus dikelola oleh mereka yang beradap. Dan, disitulah nantinya
semua orang akan paham bahwa, demokrasi itu sama sekali tidak sama dengan
keadaan anarkhi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar