jumlah pengunjung

Kamis, 23 Mei 2013

Membangun Demokrasi Indonesia




Tidak ada yang lebih menggeliasahkan bung hatta ketika dia menulis sebuah artikel panjang di majalah daulat ra'jat pada tahun 1993. Ia menulis betapa berbahayanya ketika kedaulatan rakyat salah di pahami, kemerdekaan ditafsirkan sebagai sebuah kehendak bebas. Orang dapat berbuat sekehendaknya. Peraturan dianggap membelenggu kerena akan membatasi hak individual.
Hatta menulis, banyak orang lupa bahwa kemerdekaan juga mempunyai batas, yang diaadakan oleh pergaulan social dan mufakat bersama. " mereka menyangka, bahwa kemerdekaan dalam pergaulan hidup bersama-sama saja artinya dengan leluasa berbuat sekehendaknya" pendapat itu hingga kini memang terus terasa kebenarannya. Apalagi ketika keadaan lima tahun terakhir ini kondisi berubah semakin carut marut. Dan apa yang digelisahkan filsuf yunani, Socrates, bahwa demokrasi kadang tidak jauh berbeda dengan anarkhi, seringkali juga ada benarnya. Demokrasi malah tampil dalam wajah buruk serta sangat berbeda dengan  cita-cita idealnya.
Di sisi lain , keadaan rill masyarakat semenjak hatta menulis artikel itu memang belum banyak berubah. Pendidikan rakyat tetap saja berjalan tertatih, enam puluh persen populasi rakyat indoneasia hanya tamat sekolah dasar. Sebagian kecil tamat SMP dan SMA. Sisa bagian lebih kecil lagi, yakni tiga persen, mampu bersekolah hingga jenjang perguruan tinggi.
Celakanya, demokrasi kini sudah terlanjur dianggap sebagai system kebenaran sebuah Negara modern. Publik internasional sudah sampai pada kesimpulan bahwa sebuah Negara beradap harus menjalankan prinsip domokrasi. Posisi ini memang berimbas kepada Indonesia. Meski tertatih, dengan keadaan ekonomi dan kualitas pendidikan amburadul, Indonesia mencoba melaksanakannya.
Pada titik inilah muncul pertanyaan mendasar; mampukah demokrasi dijalankan dengan baik bila keadaan kesadaran dan pendidikan rakyat tidak terlalu mencukupi? Demokrasi jelas butuh kesadaran yang cukup atas pilihan-pilihan. Demokrasi juga membutuhkan keseimbangan pengertian antara kesadaran kolektif dan individual, penyatuan antara pikiran dan hati. Demokrasi adalah sebuah kewarasan. Itulah idealnya.
 Selain menyisakan problema kesadaran, demokrasi juga membutuhkan terjaganya sebuah system kesejahteraan rakyat yang konkret. Bala kita lihat pada keadaan dunia sekarang ini, demokrasi ternyata hanya bias berhasil dengan baik di Negara Negara yang 'mapan' kondisi ekonominya. Sebaliknya, bagi Negara-negara terbelakang kadang diperhalus dengan sebutan Negara dunia ketiga demokrasi malah tidak banyak membawa hasil yang cukup baik. Dalam posisi  ini demokrasi malah menjadi pihak terdakwah sebagai penyebab carut marutnya keadaaan. Contoh konkritnya bisa dilihat pada nasib Negara-negara afrika, pilipina, india , brasil, Argentina, Uni Sovyet, dan lainnya.
Dalam hal inilah tampaknya kita perlu mengkaji kembali asumsi yang menyatakan bahwa demokrasi tidak bisa dilakukan bila perut rakyat dalam keadaan lapar. Memang slogan ini tidak benar seluruhnya karena dilain waktu ketika keadaan membaik, rakyat tidak sekedar butuh makan tetapi juga butuh kebebasan bagi pemenuhan eksistensi dirinya.
Bagi Indonesia sendiri, nasib pengembangan demokrasi memang tetap saja menyedihkan. Semula, setelah orde baru tumbang, rakyat sempat berharap banyak demokrasi dapat menjadi obat mujarab untuk mengatasi keadaan. Namun, faktanya konflik malah merebak dimana-mana. Rusuh akibat kekacauan dalam penyelengaraan pilkada,kekerasan fisik mengatasnamakan agama akibat beda pendapat dan aliran, dan berbagai konflik lainnya. Negara diancam separatism yang akut. Kadangkala kebebasan menjadi begitu mutlak. Suasana menjadi gaduh dengan silang pendapat. Pergantian figur kepala pemerintahan berjalan sangat cepat. Dalam kurun waktu lima tahun terjadi empat kali pergantian presiden.
Krisis kepercayaan terhadap demokrasi semakin besar ketika partai politik yang menjadi instrumen utama demokrasi gagal menampilkan wajah ramahnya. Para politisi malah terlibat konflik hal-hal remeh temeh. Bahkan, mereka pun tidak segan-segan melakukan berbagai macam kecurangan. Lihatlah pola mereka melakukan 'wisata' studi banding keluar negeri dan tuntutan kenaikan gaji ditengah krisis yang membelit rakyat. Ironis! Wajar bila sebagian orang berpendapat, demokrasi kini malah berubah menjadi ancaman terhadap keamanan.
Meretas Jalan Baru
Di tengah suasana kebuntuan demikian inilah, mau tidak mau harus segera dicari formula untuk mengubah keadaan. Perbaikan kualitas pendidikan dan kesadaran rakyat memang tidak akan dapat dilakukan hanya dalam waktu sekejab. Begitu juga dengan perbaikan ekonomi. Melihat begitu kompleksnya masalah, maka dapat pula dipastikan hasil akhir dari segala perubahan yang kini tengah dilakukan itu menuntut waktu yang panjang. Tidak bisa satu dua hari saja. Paling tidak akan memakan waktu hingga lima tahun lagi ke depan.
Ancaman terhadap keamanan itu, akan mencapai titik paling krusial setelah tahun 1999. Waktu itu masa reformasi telah berlangsung satu dasawarsa. Dan, apa bila nanti kondisi kehidupan rakyat tetapp saja tidak membaik, maka dipastikan bakal terjadi sebuah 'ledakan sosial'. Berkaca dari pengalaman yang terjadi diberbagi Negara, bahwa masa transisi tidak akan berlangsung hingga sepuluh tahun lamanya. Akibatnya, bila keadaan tidak membaik, maka akan terjadi berbagi hal yang sama sekali tidak terduga, misalnya datangnya seorang tiran baru atau terpecahnya Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Contoh ini sudah terjadi dinegara perancis dengan naiknya napoleon, Mussolini, dan dijerman dengan hadirnya Adoli Hitler ke atas singgasana kediktatoran.
Pada muculnya dictator Mussolini misalanya, gejala yang ada dalam masyarakat itali pada tahun 1993 itu sangat mirip dengan keadaan Indonesia masa kini. Laangkah pertama Mussolini ke Fasisme itu dilakukan setelah adanya kebencian yang sangat luar biasa dari rakyat itali kepada politisi yang korup. Kegundahan rakyat itu ditangkapnya secara cerdik, secara terbuka. Mussolini mengatakan, ".,. kalau saya, saya benar-benar yakin bahwa untuk mewujudkan kesejahteraan itali itu diperlukan dengan menembak beberapa lusin anggota parlemen dan memenjarakan seumur hidup sepasang menteri, paling sedikit…!"
 Persis dengan kondisi Indonesia, keadaan politik di itali sebelum munculnya rezim fasis Mussolini juga sangatlah rapuh. Kemampuan sumber daya politisinya sangat rendah. Partai politik memang banyak jumlahnya, tapi semuanya hanya bisa bertengkar. Akibatnya, posisi pemerintahan pun jatuh bangun. Dalam waktu empat tahun terjadi tujuh kali pergantian kepemimpinan Negara. Dua lembaga penting yakni militer dan pengadilan sama sekali berada di luar control. Posisi parlemen tidak ubahnya seperti took omong kosong (Quasselbude) sehingga lembaga ini hanya menjadi bahan caci maki anak sekolah.
Kasus yang sama juga terjadi di jerman sebelum munculnya hitler ke atas singgasana kekuasaan. Dia hadir ketika keadaan Negara begitu carut marut. Jerman dicabik cabik perang dan anarkhi, ekonomi hancur, pengangguran meledak. Disinilah hitler datang, meski dengan modal 'cekak' hanya berlatar belakang veteran perang dengan pangkat kopral. Ia memanfaatkan rasa frustasi rakyat terhadap situasi ketidakstabilan akibat demokrasi yang dijalankan dengan cara-cara yang tidak bertanggung jawab.
Adanya sejarah kelam itulah, maka kini harus ditemukan solusi untuk mencegah munculnya perasaan frustasi terhadap arti dan makna demokrasi. Satu jalan baru yang harus dilakukan untuk menyelamatkannya adalah melalui penegakan hokum yang benar benar konkret. Kebebasan yang mengatasnamakan kedaulatan rakyat harus diberi rel dan rambu-rambu agar sebuah system tertib, sosial yang baik dapat terwujud. Mereka yang melanggar hukum harus dikenai pidana. Sebaliknya, pribadi-pribadi yang jujur menadapat penghargaan.
Dalam soal ini memang harus terjadi kontrak sosial baru antara rakyat dengan pemerintah. Jaminan atas kebebasan dan hak asasi harus pula tegas-tegas dilaksanakan sehingga konstitusi yang didalamnya berisi berbagai cita-cita ideal tidak menjadi 'barang' yang mati. Yang penting bagi pemimpin harus memberi contoh bahwa dirinya adalah fiqur yang patut diteladani. Ketika kedaan seperti itu dapat diwujudkan, maka demokrasi nantinya akan mampu berkembang menjadi alat kontrol sosial. Lebih konkret lagi, meminjam temuan dei pemenang penghargaan nobel ekonomi dari India, Armaytha Zen, demokrasi akan mampu melindungi rakyat dari bahaya ketidakadilan dan korupsi, misalnya ancaman bahaya busung lapar.
Pengalaman sejaah kita sendiri pun sudah mengajarkan banyak kearifan. Terkungkungnya kebebasan dan munculnya kediktatoran, baik itu terjadi dimasa orde lama maupun orde baru, terbukti telah memunculkan banyak masalah keamanan. Hal ini dapat dilihat dengan merebaknya ancaman gerakan bersenjata dari berbagi daerah dan kelompok masyarakat. Mulai dari pemberontakan berbasis ideologi seperti PKI dan DI/TII, pemberontakan PRRI dan Permesta, atau kekerasan yang lebih bersikap komunal seperti peristiwa tanjung priok, haur koneng, Warsidi, Republika Maluku Selatan (RMS), Gerakan Aceh Merdeka, atau Papua Medeka.
Kenyataan inilah yang perlu disadari semenjak sekarang. Memang pada sebagian masyarakat jawa, perbedaan pendapat yang itu abash dalam budaya demokrasi seringkali dipandang sebelah mata karena melanggar harmoni. Cara pengangkatan pemimpin dengan melalui pemungutan suara terbanyak itu juga dianggap tidak lazim, sebab menurut mereka seorang pemimpin diangkat berdasarkan wahyu yang berasal dari tuhan. Dengan kata lain, semboyang demokrasi seperti yan pernah menjadi semboyang revolusi perancis ditahun 1789, Liberti (Kemerdekaan), Egalite (Persamaan), dan Fraternite (persaudaraan) juga bukanlah kultur bangsa kita.
Akhirnya, rakyat secara bersama-sama mulai sekarang ini memang harus dibangunkan jiwanya. Mereka secara perlahan perlu mendapat pencerahan bahwa bila masing-masing individu tidak dapat menahan diri, maka yang akan timbul hanyalah kekacauan. Para pelanggar hukum dan politisi tidak bermoral harus mendapat sanksi yang keras. Negara harus dikelola oleh mereka yang beradap. Dan, disitulah nantinya semua orang akan paham bahwa, demokrasi itu sama sekali tidak sama dengan keadaan anarkhi.  

share on facebook

Tidak ada komentar:

Posting Komentar