- Latar belakang
Islam adalah agama yang menyeluruh, agama yang
sempurna, semuanya dibahas dalam islam. Islam merupakan agama yang komprenhensif.
Sesuai dengan firman Alloh, yang artinya “pada hari ini telah Kusempurnakan
untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah
Ku-ridhai Islam itu Jadi agama bagimu
Kepala negara merupakan
hal yang terpenting dalam membangun sebuah negara, apa jadinya kalau sebuah
negara tidak ada pemimpinnya, pasti kacau.
Dalam islam telah
banyak membicarakan masalah kepemimpinan, baik dalam lingkup yang kecil sampai
ruang lingkup yang besar seperti negara.
Dahulu islam dikenal
dengan system pemerintahan yang bagus dan solid, tidak dipungkiri bahwa umat
isalam pernah Berjaya dengan system khilafah yang mereka pergunakan. Akan
tetapi musuh-musuh islam terus menyerang agar system khilafah tidak dipergunakan
lagi dalam mengatur negara, sehingga mereka berhasil meruntuhkan system
khilafah yang telah Berjaya itu.
Imperialis barat
berusaha untuk memisahkan agama dari negara, ini sangat bertentangan sekali
dengan prinsip islam, bahwa agama islam ini mengatur semua sendi-sendi
kehidupan termasuk masalah negara.
Nah, disini persoalan
kepemimpinan sangat penting, dimana kalau kepemimpinan ini dipegang oleh
imperialis barat, maka mereka berusaha menciptakan pola kepemimipinan yang
berbeda dengan yang diterapkan didalam islam itu sendiri, mereka mempunya
slogan menyesatkan yang banyak beredar, “agama adalah milik Allah dan negara
adalah milik semua orang.[1]”
Ini perkataan yang benar, namaun diartikan secara batil. Padahal slogan itu
bisa dibolak-bali dari segala sudut, sehingga dapat kita katakan, “Agama adalah
milik Allah, begitu pula negara.” Dengan kata lain, Agama adalah milik semua
orang, begitu pula negara. Atau, Agama adalah milik semua orang dan negara
milik Allah.”
Perkataan mereka,
“Agama adalah milik Allah”, maksudnya agama itu hanya sekedar hubungan manusia
dengan Allah, sehingga agama itu tidak mempunya tempat untuk mengatur kehidupan
dan masyarakat.
Nah disini pentingnya pemimpin,
negara tanpa pemimpin pasti kacau, lebih kacau lagi kalau yang memimpin negara
adalah orang yang tidak menngikutsertakan ajaran agama dalam bernegara.
- Pembahasan
Hukum Mengangkat Kepala
Negara
Mengankat
kepala negara hukumnya wajib, bagaimana sebuah negara tanpa pemimpin tidak ada
yang ditaati, tidak ada yang dipatuhi. Padahal kita diperintahkan oleh Alloh
untuk mematuhi Allah, Rasulullah dan pemimpin diantara kalian. Sesuai dengan
firman Allah, yang Artinya:
Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah
dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. kemudian jika kamu
berlainan Pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al
Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan
hari kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.[2]
Jadi
islam memandang pemimpin itu adalah merupakan hal terpenting dalam suatu Negara
dan pemimpin itu harus di taati. Rasulullah Bersabda: “ Diriwayatkan dari anas
bin Malik, dia berkata, “Rasulullah Saw. Pernah bersabda, “ Dengar dan patuhi
pemimpin kalian, meskipun kalian dipimpin oleh seorang budak dari Habasyah/Ethiopia
yang rambutnya seperti kumis.”[3]
Dalam riwayat Abu
Dawud, Nabi saw. bersabda : “Jika ada tiga orang dalam perjanan, hendaklah
mereka mengangkat (pemimpin) salah seorang mereka.”
Tentang
wajibnya mengangkat kepala negara, para ulama telah memberikan penjelasan.
Al-Bagdadi (w. 429 H), Innal imamah fardhun wajibun `alal ummah liajli iqamatil
imam (Sesungguhnya, keimaman adalah fardu yang wajib atas umat untuk mendirikan
imam (kepala negara). Al-Mawardi (w. 450 H) berkata : Al-Imamah maudhu`atun
likhilafatin Nubuwwah fi hirasatid Din wa siyasatid dunya wa `aqduha liman
yaqumu biha fil ummah wajibun bil ijma` wa insyazza `anhum al-Asham. (Keimaman
dibuat untuk menggan-tikan kenabian dalam menjaga Agama dan mengatur urusan
dunia dan mengaqadkannya bagi orang yang melaksanakannya di tengah umat adalah
wajib secara ijmak, sekalipun ganjil sendiri pendapat al-Asham.”)
Ibn
Hazm (W. 456 h) berkata : Ittafaqa jami`u Ahlis Sunnah wa jami`ul Murji’ah wa
jami`usy Syi`ah wa jami`ul Khawarij `ala wujubil imamah, hasyan Najdat minal
khawarij. (Telah sepakat seluruh Ahlus Sunnah, seluruh Murji’ah, seluruh Syiah,
dan seluruh Khawarij atas wajibnya keimaman, kecuali (sekte Najdat dari
Khawarij.)
Ibn
Khaldun (w. 708 H) berkata : Inna nashibal imam wajibun qad `urifa wujubuhu
fisy-syar`I bi ijma`ish shahabah wat tabi`in. (Sesungguhnya menetapkan kepala
negara wajib dan telah diktahui wajibnya dalam syariat dengan ijmak sahabat dan
tabiin.”)
Keterangan
para ulama ini menunjukkan bahwa hukum me-negakkan kepala negera adalah wajib.
Syarat-syarat
kepala negara
Sedangkan kandidat pemimpin, menurut al-Mawardi, harus memenuhi tujuh
persyaratan, yaitu:[4]a. Adil yang meliputi segala aspeknya.
b. Berilmu pengetahuan sehingga mampu membuat keputusan yang tepat (berijtihad) terhadap berbagai peristiwa dan hukum yang timbul.
c. Sehat indranya, seperti penglihatan, pendengaran, dan lisannya agar ia mampu mengetahui langsung persoalan yang dihadapi.
d. Anggota tubuhnya normal dan tidak cacat. Karena jika cacat, hal itu akan menghalanginya untuk bergerak dan bertindak dengan cepat.
e. Memiliki kecerdasan yang membuatnya mampu mengatur rakyat dan mengelola kepentingan publik (al-mashlahah).
f. Keberanian dan ketegasan sehingga mampu melindungi pihak yang lemah dan menghadapi musuh.
g. Keturunan dari suku Quraisy, berdasarkan hadis Para pemimpin berasal dari Quraisy.[5]
Ibnu Khaldun juga menguraikan
syarat-syarat kepemimpinan (imamah) dalam kitab Muqaddimah-nya.
Syarat-syarat itu adalah:[6]
a. Pengetahuan
Seorang pemimpin atau imam akan
dapat menerapkan hukum-hukum Tuhan jika ia memang menguasai hukum-hukum
tersebut. Jika tidak memiliki pengetahuan, maka bagaimana mungkin seorang
pemimpin mampu memberikan keputusan atau kebijakan yang tepat bagi rakyatnya?
Sementara jika seorang pemimpin hanya bisa taqlid buta, misalnya dengan
hanya mengandalkan staf ahli kepresidenan, maka hal itu pun merupakan
kekurangan. Karena ia berarti tidak sepenuhnya bebas mengambil keputusan. Ia
kemungkinan bisa mendapat intervensi dari para stafnya.
b. Keadilan
Adalah sangat penting bagi
seorang pemimpin untuk bersikap adil. Seorang pemimpin yang menjadi kepala
negara misalnya, tentu memiliki berbagai lembaga yang menjadi bawahannya.
Lembaga-lembaga itu pun tentu harus dipimpin oleh orang yang adil. Dengan
demikian, seorang kepala negara harus mengawasi berbagai lembaga tersebut agar
berjalan dengan baik dan keadilan diterapkan. Bagaimana seorang kepala negara
bisa melakukan tindakan pengawasan jika ia sendiri bersikap tidak adil?!
c. Kesanggupan (capability)
Seorang pemimpin (imam) mesti
bersedia melaksanakan hukum yang ditetapkan oleh undang-undang. Ia juga berani
berperang, mengerti cara berperang, sanggup memobilisasi rakyat untuk
berperang. Ia sanggup menggalang solidaritas sosial (ashabiyyah) dan
mampu berdiplomasi. Kesanggupan itu diperlukan agar fungsinya untuk melindungi
agama, berjihad melawan musuh, menegakkan hukum dan mengatur kepentingan umum
tercapai dengan baik.
d. Sehat jasmani dan rohani
Panca indra dan anggota badan
harus bebas dari cacat. Hal ini karena kesehatan jasmani dan rohani yang kurang
akan berpengaruh pada kebebasan seorang pemimpin untuk bertindak.
Ketidakbebasan seorang pemimpin tidak hanya karena faktor pada dirinya an
sich. Namun hal itu juga bisa terjadi karena ditawan atau dipenjarakan oleh
musuh yang berupaya merebut kekuasaannya. Jika hal tersebut terjadi, maka
kepemimpinan beralih kepada pihak yang melakukan kudeta. Jika pihak yang
melakukan kudeta bertindak adil dan sesuai dengan hukum dan aturan Islam, maka
ia pun diakui sebagai pemimpin (imam) baru.
e. Keturunan Quraisy
Persyaratan ini memang tampak
rasialis dan menjadi sulit diterima oleh masyarakat modern. Karena itulah,
sebagaian ulama menolaknya, di antaranya Abu Bakar al-Baqillani. Meski
demikian, Ibnu Khaldun tetap membelanya. Menurut beliau, pasti ada hikmah
sehingga Nabi Muhammad sebagai syaari’ menyatakan hal tersebut. Setiap
hukum syara’ pasti ada kemaslahatan umum yang menjadi tujuan di baliknya. Bagi
Ibnu Khaldun, maksud dan tujuan itu adalah untuk melenyapkan perpecahan di
tengah rakyat dengan adanya solidaritas dan superioritas kaum Quraisy. Menurut
Ibnu Khaldun, orang Quraisy termasuk golongan suku Mudhar yang dianggap paling
perkasa dan berwibawa serta merupakan cikal bakal dari suku-suku lain.
Terkait dengan kriteria atau
syarat pemimpin, khalifah Abu Bakar Assiddiq ra pernah berpidato saat dilantik
menjadi pemimpin umat sepeninggal Rasulullah Saw. Inti dari isi pidato tersebut
dapat dijadikan pandangan dalam memilih profil seorang pemimpin yang baik. Isi
pidato tersebut diterjemahkan sebagai berikut:
“Saudara-saudara, aku telah
diangkat menjadi pemimpin bukanlah karena aku yang terbaik di antara kalian
semuanya. Untuk itu jika aku berbuat baik bantulah aku, dan jika aku berbuat
salah luruskanlah aku. Sifat jujur itu adalah amanah, sedangkan kebohongan itu
adalah pengkhianatan. ‘Orang lemah’ di antara kalian aku pandang kuat posisinya
di sisiku dan aku akan melindungi hak-haknya. ‘Orang kuat’ di antara kalian aku
pandang lemah posisinya di sisiku dan aku akan mengambil hak-hak mereka yang
mereka peroleh dengan jalan yang jahat untuk aku kembalikan kepada yang berhak
menerimanya. Janganlah di antara kalian meninggalkan jihad, sebab kaum yang
meninggalkan jihad akan ditimpakan kehinaan oleh Allah Swt. Patuhlah kalian
kepadaku selama aku mematuhi Allah dan Rasul-Nya. Jika aku durhaka kepada Allah
dan Rasul-Nya maka tidak ada kewajiban bagi kalian untuk mematuhiku. Kini
marilah kita menunaikan salat. Semoga Allah Swt melimpahkan rahmat-Nya kepada
kita semua.”[7]
Ada 7 poin yang dapat diambil
dari inti pidato khalifah Abu Bakar ra ini, di antaranya:[8]
a. Sifat rendah hati
Pada hakikatnya kedudukan
pemimpin itu tidak berbeda dengan kedudukan rakyatnya. Ia bukan orang yang
harus terus diistimewakan. Ia hanya sekedar orang yang harus didahulukan
selangkah dari yang lainnya karena ia mendapatkan kepercayaan dalam memimpin
dan mengemban amanat. Ia seolah pelayan rakyat yang di atas pundaknya terletak
amanat besar yang mesti dipertanggungjawabkan. Dan seperti seorang “partner”
dalam batas-batas yang tertentu bukan seperti “tuan dengan hambanya”.
Kerendahan hati biasanya mencerminkan persahabatan dan kekeluargaan, sebaliknya
egoisme mencerminkan sifat takabur dan ingin menang sendiri.
b. Sifat terbuka untuk dikritik
Seorang pemimpin haruslah
menanggapi aspirasi-aspirasi rakyat dan terbuka untuk menerima kritik-kritik
sehat yang membangun dan konstruktif. Karena bagaimanapun dalam Islam, penguasa
tidak memiliki kekuasaan mutlak, karena kekuasaan mutlak itu hanya milik Allah
semata, dan hukum-Nyalah yang berkuasa.[9]
Dengan demikian, seorang penguasa pun bisa salah. Tidak seyogianya penguasa
menganggap kritikan itu sebagai hujatan atau orang yang mengkritik sebagai
lawan yang akan menjatuhkannya lantas dengan kekuasaannya menzalimi orang
tersebut. Tetapi harus diperlakukan sebagai “mitra”dengan kebersamaan dalam
rangka meluruskan dari kemungkinan buruk yang selama ini terjadi untuk
membangun kepada perbaikan dan kemajuan. Dan ini merupakan suatu partisipasi
sejati sebab sehebat apapun seorang pemimpin itu pastilah memerlukan
partisipasi dari orang banyak dan mitranya. Di sinilah perlunya social-support
dan social-control. Prinsip-prinsip dukungan dan kontrol masyarakat ini
bersumber dari norma-norma Islam yang diterima secara utuh dari ajaran Nabi
Muhammad Saw.
c. Sifat jujur dan memegang
amanah
Kejujuran yang dimiliki seorang
pemimpin merupakan simpati rakyat terhadapnya yang dapat membuahkan kepercayaan
dari seluruh amanat yang telah diamanahkan. Pemimpin yang konsisten dengan
amanat rakyat menjadi kunci dari sebuah kemajuan dan perbaikan. Jika pemimpin
berkualifikasi demikian, maka upaya untuk menegakkan sebuah negara kesejahteraan
(welfare state) sebagaimana yang dikehendaki oleh negara-negara
demokratis modern kemungkinan besar bisa terwujud.[10]
d. Sifat berlaku adil
Sikap ini harus dimiliki oleh
seorang pemimpin dengan tujuan demi kemakmuran rakyatnya. Islam meletakkan soal
penegakan keadilan itu sebagai sikap yang esensial. Seorang pemimpin harus
mampu menimbang dan memperlakukan sesuatu dengan seadil-adilnya bukan
sebaliknya berpihak pada seorang saja. Dan orang yang “lemah” harus dibela
hak-haknya dan dilindungi, sementara orang yang “kuat” dan bertindak zalim
harus dicegah dari bertindak sewenang-wenangnya. Adil yang dikehendaki Islam
sebagaimana juga diuraikan Aristoteles, adalah adil yang mampu menghasilkan dan
menyelamatkan kebahagiaan komunitas sosial dan politik.[11]
e. Komitmen dalam perjuangan.
Sifat pantang menyerah dan
konsisten pada konstitusi bersama bagi seorang pemimpin adalah penting. Teguh
dan terus istiqamah dalam menegakkan kebenaran dan keadilan. Pantang
tergoda oleh rayuan dan semangat menjadi orang yang pertama di depan
musuh-musuh yang hendak menghancurkan konstitusi yang telah disepakati bersama.
Bukan sebagai penonton di kala perang.
f. Bersikap demokratis.
Demokrasi merupakan “alat” untuk
membentuk masyarakat yang madani, dengan prinsip-prinsip segala sesuatunya dari
rakyat untuk rakyat dan oleh rakyat. Dalam hal ini, pemimpin tidak sembarang
memutuskan sebelum adanya musyawarah yang mufakat. Sebab dengan keterlibatan
rakyat terhadap pemimpinnya dalam sebuah kesepakatan bersama akan memberikan
kepuasan, sehingga apapun yang akan terjadi baik buruknya bisa ditanggung
bersama-sama.
g. Berbakti dan mengabdi kepada
Allah.
Dalam hidup ini segala
sesuatunya takkan terlepas dari pantauan Allah, manusia bisa berusaha
semampunya dan sehebat-hebatnya namun yang menentukannya adalah Allah. Hubungan
seorang pemimpin dengan Tuhannya tak kalah pentingnya; yaitu dengan berbakti
dan mengabdi kepada Allah. Semua ini dalam rangka memohon pertolongan dan ridha
Allah semata. Dengan senantiasa berbakti kepada-Nya terutama dalam menegakkan
shalat lima waktu contohnya, seorang pemimpin akan mendapat hidayah untuk
menghindari perbuatan-perbuatan yang keji dan tercela. Selanjutnya ia akan
mampu mengawasi dirinya dari perbuatan-perbuatan hina tersebut, karena dengan
shalat yang baik dan benar menurut tuntunan ajaran Islam dapat mencegah manusia
dari perbuatan keji dan mungkar.[12]
Sifat yang harus terus ia aktualisasikan adalah rela menerima apa yang
dicapainya. Syukur bila meraih suatu keberhasilan dan memacunya kembali untuk
lebih maju lagi, sabar serta tawakal dalam menghadapi setiap tantangan dan
rintangan, sabar dan tawakal saat menghadapi kegagalan.
Dari berbagai persyaratan yang
diungkapkan para ulama di atas, kita menyadari bahwa memilih pemimpin bukan
didasari oleh sikap pilih kasih, nepotisme atau kecenderungan primordial yang
sempit. Bukan pula memilih seorang pemimpin yang gila jabatan, ambisius dalam
meraih kursi jabatan atau memiliki vested interest. Tapi hendaknya
kepemimpinan diberikan kepada orang yang “ikhlas” dan dipercaya dalam mengemban
amanah. Senantiasa memprioritaskan kemaslahatan umat daripada kepentingan
pribadi, kelompok atau keluarga.
[1] Dr.Yusuf Qardhawy :
Fiqih Daulah, Ter. Kathur Suhardi (Jakarta:Pustaka Al-Kautsar,1997). Cet
ke. 1, h. 19
[2] QS. An-Nisaa’: Ayat 59
[3] Shohih Bukhori, No 7142
[4]
Abu al-Hasan Ali bin Muhammad bin Muhammad bin Habib al-Bashri al-Baghdadi
(al-Mawardi), al-Ahkam as-Sulthaniyyah, hal. 3 dalam http://www.al-islam.com.
[5] H.R. Nasa’i, Ahmad, Hakim,
Baihaqi, Thabrani, dan Abu Ya’la. Lihat misalnya, hadis riwayat Nasai no. 5942
pada Ahmad bin Syu’aib Abu Abdurrahman an-Nasa’i, Musnad an-Nasa’i al-Kubra,
(Beirut: Darul Kutub al-Ilmiyyah, 1991), juz 3, hal. 467. Redaksinya hadis
sebagai berikut:
الأئمة من قريش إن لهم عليكم حقا ولكم
عليهم حقا أما إن استرحموا رحموا وإن عاهدوا وفوا وإن حكموا عدلوا فمن لم يفعل ذلك
منهم فعليه لعنة الله والملائكة والناس أجمعين
[6] Ibnu Khaldun, Muqaddimah,
op. cit., hal. 98-100.
[7] Ibnu Hibban, Sirah Ibnu
Hibban, hal. 419 dalam program kitab digital al-Maktabah asy-Syamilah, versi
2.09.
[8] Mukhlis Zamzami Can, op.
cit
[9]
Hakim Jabid Iqbal, “Konsep Negara Islam” dalam Mumtaz Ahmad (ed), Masalah-masalah
Teori Politik Islam, terj. Ena Hadi, (Bandung: Mizan, 1993), hal. 59.
[10] iriam Budiardjo, Dasar-dasar
Ilmu Politik, (Jakarta: Gramedia, 1982), hal. 59.
[11] Aristoteles, Nicomachean
Ethics, Sebuah “Kitab Suci” Etika, terj. Embun Kenyowati, (Bandung: Mizan,
2004), hal. 113.
[12]
Lihat Q.S.Al Ankabut: 45.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar