jumlah pengunjung

Jumat, 14 Juni 2013

Hukum Mengangkat Kepala Negara


  1. Latar belakang
Islam adalah agama yang menyeluruh, agama yang sempurna, semuanya dibahas dalam islam. Islam merupakan agama yang komprenhensif. Sesuai dengan firman Alloh, yang artinya “pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu Jadi agama bagimu
Kepala negara merupakan hal yang terpenting dalam membangun sebuah negara, apa jadinya kalau sebuah negara tidak ada pemimpinnya, pasti kacau.
Dalam islam telah banyak membicarakan masalah kepemimpinan, baik dalam lingkup yang kecil sampai ruang lingkup yang besar seperti negara.
Dahulu islam dikenal dengan system pemerintahan yang bagus dan solid, tidak dipungkiri bahwa umat isalam pernah Berjaya dengan system khilafah yang mereka pergunakan. Akan tetapi musuh-musuh islam terus menyerang agar system khilafah tidak dipergunakan lagi dalam mengatur negara, sehingga mereka berhasil meruntuhkan system khilafah yang telah Berjaya itu.
Imperialis barat berusaha untuk memisahkan agama dari negara, ini sangat bertentangan sekali dengan prinsip islam, bahwa agama islam ini mengatur semua sendi-sendi kehidupan termasuk masalah negara.
Nah, disini persoalan kepemimpinan sangat penting, dimana kalau kepemimpinan ini dipegang oleh imperialis barat, maka mereka berusaha menciptakan pola kepemimipinan yang berbeda dengan yang diterapkan didalam islam itu sendiri, mereka mempunya slogan menyesatkan yang banyak beredar, “agama adalah milik Allah dan negara adalah milik semua orang.[1]” Ini perkataan yang benar, namaun diartikan secara batil. Padahal slogan itu bisa dibolak-bali dari segala sudut, sehingga dapat kita katakan, “Agama adalah milik Allah, begitu pula negara.” Dengan kata lain, Agama adalah milik semua orang, begitu pula negara. Atau, Agama adalah milik semua orang dan negara milik Allah.”
Perkataan mereka, “Agama adalah milik Allah”, maksudnya agama itu hanya sekedar hubungan manusia dengan Allah, sehingga agama itu tidak mempunya tempat untuk mengatur kehidupan dan masyarakat.
Nah disini pentingnya pemimpin, negara tanpa pemimpin pasti kacau, lebih kacau lagi kalau yang memimpin negara adalah orang yang tidak menngikutsertakan ajaran agama dalam bernegara.


  1. Pembahasan
Hukum Mengangkat Kepala Negara
Mengankat kepala negara hukumnya wajib, bagaimana sebuah negara tanpa pemimpin tidak ada yang ditaati, tidak ada yang dipatuhi. Padahal kita diperintahkan oleh Alloh untuk mematuhi Allah, Rasulullah dan pemimpin diantara kalian. Sesuai dengan firman Allah, yang Artinya:
 
 Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. kemudian jika kamu berlainan Pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.[2]
Jadi islam memandang pemimpin itu adalah merupakan hal terpenting dalam suatu Negara dan pemimpin itu harus di taati. Rasulullah Bersabda: “ Diriwayatkan dari anas bin Malik, dia berkata, “Rasulullah Saw. Pernah bersabda, “ Dengar dan patuhi pemimpin kalian, meskipun kalian dipimpin oleh seorang budak dari Habasyah/Ethiopia yang rambutnya seperti kumis.”[3]
Dalam riwayat Abu Dawud, Nabi saw. bersabda : “Jika ada tiga orang dalam perjanan, hendaklah mereka mengangkat (pemimpin) salah seorang mereka.”
Tentang wajibnya mengangkat kepala negara, para ulama telah memberikan penjelasan. Al-Bagdadi (w. 429 H), Innal imamah fardhun wajibun `alal ummah liajli iqamatil imam (Sesungguhnya, keimaman adalah fardu yang wajib atas umat untuk mendirikan imam (kepala negara). Al-Mawardi (w. 450 H) berkata : Al-Imamah maudhu`atun likhilafatin Nubuwwah fi hirasatid Din wa siyasatid dunya wa `aqduha liman yaqumu biha fil ummah wajibun bil ijma` wa insyazza `anhum al-Asham. (Keimaman dibuat untuk menggan-tikan kenabian dalam menjaga Agama dan mengatur urusan dunia dan mengaqadkannya bagi orang yang melaksanakannya di tengah umat adalah wajib secara ijmak, sekalipun ganjil sendiri pendapat al-Asham.”)
Ibn Hazm (W. 456 h) berkata : Ittafaqa jami`u Ahlis Sunnah wa jami`ul Murji’ah wa jami`usy Syi`ah wa jami`ul Khawarij `ala wujubil imamah, hasyan Najdat minal khawarij. (Telah sepakat seluruh Ahlus Sunnah, seluruh Murji’ah, seluruh Syiah, dan seluruh Khawarij atas wajibnya keimaman, kecuali (sekte Najdat dari Khawarij.)
Ibn Khaldun (w. 708 H) berkata : Inna nashibal imam wajibun qad `urifa wujubuhu fisy-syar`I bi ijma`ish shahabah wat tabi`in. (Sesungguhnya menetapkan kepala negara wajib dan telah diktahui wajibnya dalam syariat dengan ijmak sahabat dan tabiin.”)
Keterangan para ulama ini menunjukkan bahwa hukum me-negakkan kepala negera adalah wajib.
Syarat-syarat kepala negara
Sedangkan kandidat pemimpin, menurut al-Mawardi, harus memenuhi tujuh persyaratan, yaitu:[4]
a. Adil yang meliputi segala aspeknya.
b. Berilmu pengetahuan sehingga mampu membuat keputusan yang tepat (berijtihad) terhadap berbagai peristiwa dan hukum yang timbul.
c. Sehat indranya, seperti penglihatan, pendengaran, dan lisannya agar ia mampu mengetahui langsung persoalan yang dihadapi.
d. Anggota tubuhnya normal dan tidak cacat. Karena jika cacat, hal itu akan menghalanginya untuk bergerak dan bertindak dengan cepat.
e. Memiliki kecerdasan yang membuatnya mampu mengatur rakyat dan mengelola kepentingan publik (al-mashlahah).
f. Keberanian dan ketegasan sehingga mampu melindungi pihak yang lemah dan menghadapi musuh.

g. Keturunan dari suku Quraisy, berdasarkan hadis Para pemimpin berasal dari Quraisy.[5]
Ibnu Khaldun juga menguraikan syarat-syarat kepemimpinan (imamah) dalam kitab Muqaddimah-nya. Syarat-syarat itu adalah:[6]
a. Pengetahuan
Seorang pemimpin atau imam akan dapat menerapkan hukum-hukum Tuhan jika ia memang menguasai hukum-hukum tersebut. Jika tidak memiliki pengetahuan, maka bagaimana mungkin seorang pemimpin mampu memberikan keputusan atau kebijakan yang tepat bagi rakyatnya? Sementara jika seorang pemimpin hanya bisa taqlid buta, misalnya dengan hanya mengandalkan staf ahli kepresidenan, maka hal itu pun merupakan kekurangan. Karena ia berarti tidak sepenuhnya bebas mengambil keputusan. Ia kemungkinan bisa mendapat intervensi dari para stafnya.
b. Keadilan
Adalah sangat penting bagi seorang pemimpin untuk bersikap adil. Seorang pemimpin yang menjadi kepala negara misalnya, tentu memiliki berbagai lembaga yang menjadi bawahannya. Lembaga-lembaga itu pun tentu harus dipimpin oleh orang yang adil. Dengan demikian, seorang kepala negara harus mengawasi berbagai lembaga tersebut agar berjalan dengan baik dan keadilan diterapkan. Bagaimana seorang kepala negara bisa melakukan tindakan pengawasan jika ia sendiri bersikap tidak adil?!
c. Kesanggupan (capability)
Seorang pemimpin (imam) mesti bersedia melaksanakan hukum yang ditetapkan oleh undang-undang. Ia juga berani berperang, mengerti cara berperang, sanggup memobilisasi rakyat untuk berperang. Ia sanggup menggalang solidaritas sosial (ashabiyyah) dan mampu berdiplomasi. Kesanggupan itu diperlukan agar fungsinya untuk melindungi agama, berjihad melawan musuh, menegakkan hukum dan mengatur kepentingan umum tercapai dengan baik.
d. Sehat jasmani dan rohani
Panca indra dan anggota badan harus bebas dari cacat. Hal ini karena kesehatan jasmani dan rohani yang kurang akan berpengaruh pada kebebasan seorang pemimpin untuk bertindak. Ketidakbebasan seorang pemimpin tidak hanya karena faktor pada dirinya an sich. Namun hal itu juga bisa terjadi karena ditawan atau dipenjarakan oleh musuh yang berupaya merebut kekuasaannya. Jika hal tersebut terjadi, maka kepemimpinan beralih kepada pihak yang melakukan kudeta. Jika pihak yang melakukan kudeta bertindak adil dan sesuai dengan hukum dan aturan Islam, maka ia pun diakui sebagai pemimpin (imam) baru.
e. Keturunan Quraisy
Persyaratan ini memang tampak rasialis dan menjadi sulit diterima oleh masyarakat modern. Karena itulah, sebagaian ulama menolaknya, di antaranya Abu Bakar al-Baqillani. Meski demikian, Ibnu Khaldun tetap membelanya. Menurut beliau, pasti ada hikmah sehingga Nabi Muhammad sebagai syaari’ menyatakan hal tersebut. Setiap hukum syara’ pasti ada kemaslahatan umum yang menjadi tujuan di baliknya. Bagi Ibnu Khaldun, maksud dan tujuan itu adalah untuk melenyapkan perpecahan di tengah rakyat dengan adanya solidaritas dan superioritas kaum Quraisy. Menurut Ibnu Khaldun, orang Quraisy termasuk golongan suku Mudhar yang dianggap paling perkasa dan berwibawa serta merupakan cikal bakal dari suku-suku lain.
Terkait dengan kriteria atau syarat pemimpin, khalifah Abu Bakar Assiddiq ra pernah berpidato saat dilantik menjadi pemimpin umat sepeninggal Rasulullah Saw. Inti dari isi pidato tersebut dapat dijadikan pandangan dalam memilih profil seorang pemimpin yang baik. Isi pidato tersebut diterjemahkan sebagai berikut:
“Saudara-saudara, aku telah diangkat menjadi pemimpin bukanlah karena aku yang terbaik di antara kalian semuanya. Untuk itu jika aku berbuat baik bantulah aku, dan jika aku berbuat salah luruskanlah aku. Sifat jujur itu adalah amanah, sedangkan kebohongan itu adalah pengkhianatan. ‘Orang lemah’ di antara kalian aku pandang kuat posisinya di sisiku dan aku akan melindungi hak-haknya. ‘Orang kuat’ di antara kalian aku pandang lemah posisinya di sisiku dan aku akan mengambil hak-hak mereka yang mereka peroleh dengan jalan yang jahat untuk aku kembalikan kepada yang berhak menerimanya. Janganlah di antara kalian meninggalkan jihad, sebab kaum yang meninggalkan jihad akan ditimpakan kehinaan oleh Allah Swt. Patuhlah kalian kepadaku selama aku mematuhi Allah dan Rasul-Nya. Jika aku durhaka kepada Allah dan Rasul-Nya maka tidak ada kewajiban bagi kalian untuk mematuhiku. Kini marilah kita menunaikan salat. Semoga Allah Swt melimpahkan rahmat-Nya kepada kita semua.”[7]
Ada 7 poin yang dapat diambil dari inti pidato khalifah Abu Bakar ra ini, di antaranya:[8]
a. Sifat rendah hati
Pada hakikatnya kedudukan pemimpin itu tidak berbeda dengan kedudukan rakyatnya. Ia bukan orang yang harus terus diistimewakan. Ia hanya sekedar orang yang harus didahulukan selangkah dari yang lainnya karena ia mendapatkan kepercayaan dalam memimpin dan mengemban amanat. Ia seolah pelayan rakyat yang di atas pundaknya terletak amanat besar yang mesti dipertanggungjawabkan. Dan seperti seorang “partner” dalam batas-batas yang tertentu bukan seperti “tuan dengan hambanya”. Kerendahan hati biasanya mencerminkan persahabatan dan kekeluargaan, sebaliknya egoisme mencerminkan sifat takabur dan ingin menang sendiri.
b. Sifat terbuka untuk dikritik
Seorang pemimpin haruslah menanggapi aspirasi-aspirasi rakyat dan terbuka untuk menerima kritik-kritik sehat yang membangun dan konstruktif. Karena bagaimanapun dalam Islam, penguasa tidak memiliki kekuasaan mutlak, karena kekuasaan mutlak itu hanya milik Allah semata, dan hukum-Nyalah yang berkuasa.[9] Dengan demikian, seorang penguasa pun bisa salah. Tidak seyogianya penguasa menganggap kritikan itu sebagai hujatan atau orang yang mengkritik sebagai lawan yang akan menjatuhkannya lantas dengan kekuasaannya menzalimi orang tersebut. Tetapi harus diperlakukan sebagai “mitra”dengan kebersamaan dalam rangka meluruskan dari kemungkinan buruk yang selama ini terjadi untuk membangun kepada perbaikan dan kemajuan. Dan ini merupakan suatu partisipasi sejati sebab sehebat apapun seorang pemimpin itu pastilah memerlukan partisipasi dari orang banyak dan mitranya. Di sinilah perlunya social-support dan social-control. Prinsip-prinsip dukungan dan kontrol masyarakat ini bersumber dari norma-norma Islam yang diterima secara utuh dari ajaran Nabi Muhammad Saw.
c. Sifat jujur dan memegang amanah
Kejujuran yang dimiliki seorang pemimpin merupakan simpati rakyat terhadapnya yang dapat membuahkan kepercayaan dari seluruh amanat yang telah diamanahkan. Pemimpin yang konsisten dengan amanat rakyat menjadi kunci dari sebuah kemajuan dan perbaikan. Jika pemimpin berkualifikasi demikian, maka upaya untuk menegakkan sebuah negara kesejahteraan (welfare state) sebagaimana yang dikehendaki oleh negara-negara demokratis modern kemungkinan besar bisa terwujud.[10]
d. Sifat berlaku adil
Sikap ini harus dimiliki oleh seorang pemimpin dengan tujuan demi kemakmuran rakyatnya. Islam meletakkan soal penegakan keadilan itu sebagai sikap yang esensial. Seorang pemimpin harus mampu menimbang dan memperlakukan sesuatu dengan seadil-adilnya bukan sebaliknya berpihak pada seorang saja. Dan orang yang “lemah” harus dibela hak-haknya dan dilindungi, sementara orang yang “kuat” dan bertindak zalim harus dicegah dari bertindak sewenang-wenangnya. Adil yang dikehendaki Islam sebagaimana juga diuraikan Aristoteles, adalah adil yang mampu menghasilkan dan menyelamatkan kebahagiaan komunitas sosial dan politik.[11]
e. Komitmen dalam perjuangan.
Sifat pantang menyerah dan konsisten pada konstitusi bersama bagi seorang pemimpin adalah penting. Teguh dan terus istiqamah dalam menegakkan kebenaran dan keadilan. Pantang tergoda oleh rayuan dan semangat menjadi orang yang pertama di depan musuh-musuh yang hendak menghancurkan konstitusi yang telah disepakati bersama. Bukan sebagai penonton di kala perang.
f. Bersikap demokratis.
Demokrasi merupakan “alat” untuk membentuk masyarakat yang madani, dengan prinsip-prinsip segala sesuatunya dari rakyat untuk rakyat dan oleh rakyat. Dalam hal ini, pemimpin tidak sembarang memutuskan sebelum adanya musyawarah yang mufakat. Sebab dengan keterlibatan rakyat terhadap pemimpinnya dalam sebuah kesepakatan bersama akan memberikan kepuasan, sehingga apapun yang akan terjadi baik buruknya bisa ditanggung bersama-sama.
g. Berbakti dan mengabdi kepada Allah.
Dalam hidup ini segala sesuatunya takkan terlepas dari pantauan Allah, manusia bisa berusaha semampunya dan sehebat-hebatnya namun yang menentukannya adalah Allah. Hubungan seorang pemimpin dengan Tuhannya tak kalah pentingnya; yaitu dengan berbakti dan mengabdi kepada Allah. Semua ini dalam rangka memohon pertolongan dan ridha Allah semata. Dengan senantiasa berbakti kepada-Nya terutama dalam menegakkan shalat lima waktu contohnya, seorang pemimpin akan mendapat hidayah untuk menghindari perbuatan-perbuatan yang keji dan tercela. Selanjutnya ia akan mampu mengawasi dirinya dari perbuatan-perbuatan hina tersebut, karena dengan shalat yang baik dan benar menurut tuntunan ajaran Islam dapat mencegah manusia dari perbuatan keji dan mungkar.[12] Sifat yang harus terus ia aktualisasikan adalah rela menerima apa yang dicapainya. Syukur bila meraih suatu keberhasilan dan memacunya kembali untuk lebih maju lagi, sabar serta tawakal dalam menghadapi setiap tantangan dan rintangan, sabar dan tawakal saat menghadapi kegagalan.
Dari berbagai persyaratan yang diungkapkan para ulama di atas, kita menyadari bahwa memilih pemimpin bukan didasari oleh sikap pilih kasih, nepotisme atau kecenderungan primordial yang sempit. Bukan pula memilih seorang pemimpin yang gila jabatan, ambisius dalam meraih kursi jabatan atau memiliki vested interest. Tapi hendaknya kepemimpinan diberikan kepada orang yang “ikhlas” dan dipercaya dalam mengemban amanah. Senantiasa memprioritaskan kemaslahatan umat daripada kepentingan pribadi, kelompok atau keluarga.









[1] Dr.Yusuf Qardhawy : Fiqih Daulah, Ter. Kathur Suhardi (Jakarta:Pustaka Al-Kautsar,1997). Cet ke. 1, h. 19
[2] QS. An-Nisaa’: Ayat 59
[3] Shohih Bukhori, No 7142
[4] Abu al-Hasan Ali bin Muhammad bin Muhammad bin Habib al-Bashri al-Baghdadi (al-Mawardi), al-Ahkam as-Sulthaniyyah, hal. 3 dalam http://www.al-islam.com.
[5] H.R. Nasa’i, Ahmad, Hakim, Baihaqi, Thabrani, dan Abu Ya’la. Lihat misalnya, hadis riwayat Nasai no. 5942 pada Ahmad bin Syu’aib Abu Abdurrahman an-Nasa’i, Musnad an-Nasa’i al-Kubra, (Beirut: Darul Kutub al-Ilmiyyah, 1991), juz 3, hal. 467. Redaksinya hadis sebagai berikut:
الأئمة من قريش إن لهم عليكم حقا ولكم عليهم حقا أما إن استرحموا رحموا وإن عاهدوا وفوا وإن حكموا عدلوا فمن لم يفعل ذلك منهم فعليه لعنة الله والملائكة والناس أجمعين

[6] Ibnu Khaldun, Muqaddimah, op. cit., hal. 98-100.
[7] Ibnu Hibban, Sirah Ibnu Hibban, hal. 419 dalam program kitab digital al-Maktabah asy-Syamilah, versi 2.09.
[8] Mukhlis Zamzami Can, op. cit
[9] Hakim Jabid Iqbal, “Konsep Negara Islam” dalam Mumtaz Ahmad (ed), Masalah-masalah Teori Politik Islam, terj. Ena Hadi, (Bandung: Mizan, 1993), hal. 59.
[10] iriam Budiardjo, Dasar-dasar Ilmu Politik, (Jakarta: Gramedia, 1982), hal. 59.
[11] Aristoteles, Nicomachean Ethics, Sebuah “Kitab Suci” Etika, terj. Embun Kenyowati, (Bandung: Mizan, 2004), hal. 113.
[12] Lihat Q.S.Al Ankabut: 45.

share on facebook

Tidak ada komentar:

Posting Komentar