jumlah pengunjung

Senin, 17 Juni 2013

Tafsir Di Masa Tabi’in Dan Tabi’ Tabiin




            Periode pertama berakhir ditandai dengan berakhirnya generasi sahabat. Lalu dimulailah periode kedua tafsir, yaitu periode tabiin yang belajar langsung dari sahabat. Para tabiin selalu mengikuti jejak gurunya yang masyhur dalam penafsiran al-Qur’an, terutama mengenai ayat-ayat yang musykil pengertiannya bagi orang-orang awam.[1]
            Tabiin mengajarkan pula kepada orang-orang yang sesudahnya yang disebut (tabi’it-tabi’in), tabi’it-tabi’in inilah yang mula-mula menyusun kitab-kitab tafsir secara sederhana yang mereka kumpulkan dari perkataan-perkataan sahabat dan tabiin tadi. Dari kalangan tabiin ini dikenal nama-nama mufassirin sebagai berikut: Sfyan bin ‘Uyainah, Waki’ bin Jarrah, Syu’bah bin Hajjaj, Yazid bin Harun, dan Abduh bin Humaid. Mereka inilah yang merupakan sumber dari bahan-bahan tafsir yang kelak dibukukan oleh seorang mufassir besar bernama Ibnu Jarir at-Tabari. Ibnu Jarir inilah yang menjadi bapak bagi para mufassir sesudahnya (lebih dikenal dengan at-Tabari).[2]
Adapun sumber-sumber tafsir periode tabiin yaitu:
-          Al-Qur’an al-Karim
-          Hadis Nabi saw
-          Pendapat sahabat
-          Informasi ahli kitab yang bersumber dari kitab-kitab mereka
-          Ijtihad tabiin
Penyebaran Tafsir
            Ilmu tafsir mengalami penyebaran melalui para sahabat yang menyebar ke berbagai penjuru seiring meluasnya wilayah Islam sejak zaman Rasulullah saw dan para khalifah sesudah beliau. Maka, pada saat itulah berdiri madrasah-madrasah tafsir yang masyhur , dimana gurunya adalah para sahabat dan muridnya adalah para tabiin yang kemudian muncul beberapa aliran tafsir.[3] Secara garis besar aliran-aliran tafsir pada masa tabiin dapat dikategorikan menjadi tiga kelompok:
a.    Aliran Tafsir di Makkah
Aliran tafsir ini didirika oleh murid-murid sahabat Abdullah ibn ‘Abbas, seperti Said bin Jubair, Mujahid, ‘Atha’ bin Abi Rabah, maula Ibnu Abbas dan Thawus bin Kisan al-Yamani. Mereka semua dari golongan maula (sahaya yang telah dibebaskan).[4] Ibnu Taimiyah mengatakan bahwa orang yang paling mengerti dengan tafsir adalah penduduk Makkah sebab mereka adalah sahabat-sahabat Ibnu Abbas dimana ia dikenal sebagai sahabat yang paling banyak, paling utama, dalam dalam pengetahuannya mengenai tafsir al-Qur’an. Rasulullah pernah mendo’akan sahabat yang satu ini sebagai berikut:
اللّهمّ فقّهه فى الدّين وعلّمه التأويل
“Ya Allah, berikanlah pemahaman keagamaan kepadanya (Ibnu Abbas) dan ajarkanlah tafsir kepadanya.”[5]
Aliran ini berawal dari keberadaan Ibnu Abbas sebagai guru di Makkah yang mengajarkan penafsiran Al-Qur’an kepada tabiin dengan menjelaskan hal-hal yang musykil. Para tabiin tersebut kemudian meriwayatkan penafsiran Ibnu Abbas dan menambahkan pemahamannya serta kemudian mentransfer kepada generasi berikutnya. Sementara itun dalam hal metode penafsiran , aliran ini sudah mulai memakai dasar aqli (ra’yu).
b.    Aliran Tafsir di Madinah
Aliran ini dipelopori oleh Ubay bin Ka’ab yang didukung oleh sahabat-sahabat lain di Madinahdan selanjutnya dilanjutkan oleh para tabiin Madinah seperti Abu ‘Aliyah, Zaid bin Aslam dan Muhammad bin Ka’ab al-Qurazi.
Aliran tafsir di Madinah muncul karena banyaknya sahabat yang menetap di Madinah bertadarus al-Qur’an dan sunnah Rasul yang diikuti oleh para tabiinsebagai murid sahabat-sahabat Nabi melalui Ubay bin Ka’ab, para tabiin banyak menafsirkan al-Qur’an yang kemudian disebarluaskan kepada generasi selanjutnya sampai kepada kita. Pada aliran ini telah berkembang ta’wil terhadap ayat-ayat al-Qur’an dengan kata lain pada aliran di Madinah ini telah timbul model penafsiran bir ra’yi.
c.    Aliran Tafsir di Iraq
Aliran tafsir di Iraq ini dipelopori oleh Abdullah bin Mas’ud (dipandang ulama sebagai cikal bakal aliran ahli ra’yi) yang memperoleh perlindungan dari Gubernur Iraq, ‘Ammar bin Yasir, serta didukung para tabiin Iraq seperti: ‘Alqamah bin Qais, Masruq, Aswad bin Yasir, Murrah al-Hamdani, Amir Asy-Sya’bi, Hasan al-Bashri, Qatadah bin Di’amah. Secara global, aliran ini lebih banyak berwarna ra’yi (rasional). Sebagai akibat warna tersebut, maka timbul banyak masalah khilafiyah (perbedaan) dalam penafsiran al-Qur’an, yang selanjutnya memunculkan metode istidlal (dedukatif).[6]
Nilai dan Karakteristik Tafsir Masa Tabiin
            Kualitas tafsir bi al-ma’tsur pada periode ini, tentu tidak senilai dengan tafsir yang muncul sebelumnya, baik dibandingkan dengan tafsir zaman Rasulullah SAW. maupun zaman sahabat. Namun dari perkembangannya, tafsir tabiin jauh lebih berkembang daripada periode sebelumnya, terutama tafsir bi al-ra’yi. Karena kualitas tafsir periode ini, para ahli berbeda pendapat dalam pengambilan hasil tafsiran pada periode ini, terutama tafsir bi al-ra’yi.
            Satu pihak menolak penafsiran tabiin karena secara kronologis mereka tidak mendengar langsung dari Nabi Muhammad SAW. atas apa yang mereka tafsirkan. Alasan lain bahwa para tabiin tidak menyakskan saat turunnya al-Qur’an. Ibnu Taimiyah menyatakan bahwa pernyataan atau fatwa tabiin tidak boleh dijadikan hujjahmbagi umat sesudahnya. Adapun hasil ijma’ mereka atas sesuatu dapat dijadikan hujjah. Akan tetapi apabila terjadi perbedaan pendapat, pendapat yang satu tidak dapat dijadikan hujjah atas lainnya dan tidak dijadikan hujjah oleh umat sesudahnya. Sikap terbaik adalah mengembalikan segala permasalahan al-Qur’an dan as-Sunnah kepada keumuman bahasa arab, atau perkataan para sahabat.
            Sementara pihak lain menerima tafsiran tabiin dengan alasan bahwa kebanyakan tafsiran tabiin itu berkaitan dengan hasil tafsiran yang dilakukan sahabat. Perkataan ini merujuk pada perkataan Mujahid maupun Qatadah yang menyatakan bahwa tidak ada satu ayatpun dari al-Qur’an, kecuali tafsirannya telah didengar dari sahabat. Akan tetapi, apabila penafsiran itu cenderung menggunakan ra’yu, ia tidak wajib mengambilnya. Dari dua pendapat diatas, dapat dijelaskan bahwa tafsiran tabiin pada hakikatnya boleh diambil dan dapat dijadikan sandaran hukum, selama sesuai dengan al-Qur’an dan as-Sunnah.[7]
            Adapun karakteristik tafsir pada masa Tabiin secara ringkas dapat disimpulkan sebagai berikut:
1.    Pada masa ini tafsir belum terkodikasi secara tersendiri.
2.    Tradisi tafsir masih bersifat hapalan dan periwayatan.
3.    Tafsir sudah kemasukan riwayat-riwayat Israiliyat, karena keinginan sebagian para tabiin mencari penjelasan yang lebih detil mengenai cerita atau berita dalam Al-Qur’an.
4.    Sudah mulai muncul benih-benih perbedaan madzhab dalam penafsirannya.
5.    Sudah banyak perbedaan pendapat antara penafsiran tabiin dan para sahabat.[8]

           




[1] Peta Metodologi Penafsiran Al-Qur’an.h.57
[2]Tim Penyusun, Mukadimah Al-Qur’an Dan Tafsirnya, (Jakarta: Departemen Agama RI, 2008) h.49

[3] Mukadimah Al-Qur’an Dan Tafsirnya.h.51
[4] Peta Metodologi Penafsiran Al-Qur’an.h.58
[5] Mukadimah Al-Qur’an Dan Tafsirnya.h.47
[6] Peta Metodologi Penafsiran Al-Qur’an.h.60.
[7] Badri Khaeruman, Sejarah Perkembangan Tafsir Al-Qur’an, (Bandung : Pustaka Setia, 2004) h.91
[8] Peta Metodologi Penafsiran Al-Qur’an.h.62.

share on facebook

Tidak ada komentar:

Posting Komentar