Periode pertama berakhir ditandai dengan
berakhirnya generasi sahabat. Lalu dimulailah periode kedua tafsir, yaitu
periode tabiin yang belajar langsung dari sahabat. Para tabiin selalu mengikuti
jejak gurunya yang masyhur dalam penafsiran al-Qur’an, terutama mengenai
ayat-ayat yang musykil pengertiannya bagi orang-orang awam.[1]
Tabiin mengajarkan pula
kepada orang-orang yang sesudahnya yang disebut (tabi’it-tabi’in),
tabi’it-tabi’in inilah yang mula-mula menyusun kitab-kitab tafsir secara
sederhana yang mereka kumpulkan dari perkataan-perkataan sahabat dan tabiin
tadi. Dari kalangan tabiin ini dikenal nama-nama mufassirin sebagai berikut:
Sfyan bin ‘Uyainah, Waki’ bin Jarrah, Syu’bah bin Hajjaj, Yazid bin Harun, dan
Abduh bin Humaid. Mereka inilah yang merupakan sumber dari bahan-bahan tafsir
yang kelak dibukukan oleh seorang mufassir besar bernama Ibnu Jarir at-Tabari.
Ibnu Jarir inilah yang menjadi bapak bagi para mufassir sesudahnya (lebih
dikenal dengan at-Tabari).[2]
Adapun sumber-sumber tafsir periode tabiin yaitu:
-
Al-Qur’an al-Karim
-
Hadis Nabi saw
-
Pendapat sahabat
-
Informasi ahli kitab yang bersumber dari
kitab-kitab mereka
-
Ijtihad tabiin
Penyebaran Tafsir
Ilmu tafsir mengalami penyebaran melalui para
sahabat yang menyebar ke berbagai penjuru seiring meluasnya wilayah Islam sejak
zaman Rasulullah saw dan para khalifah sesudah beliau. Maka, pada saat itulah
berdiri madrasah-madrasah tafsir yang masyhur , dimana gurunya adalah para
sahabat dan muridnya adalah para tabiin yang kemudian muncul beberapa aliran
tafsir.[3]
Secara garis besar aliran-aliran tafsir pada masa tabiin dapat dikategorikan
menjadi tiga kelompok:
a. Aliran Tafsir di Makkah
Aliran tafsir ini didirika oleh murid-murid sahabat
Abdullah ibn ‘Abbas, seperti Said bin Jubair, Mujahid, ‘Atha’ bin Abi Rabah,
maula Ibnu Abbas dan Thawus bin Kisan al-Yamani. Mereka semua dari golongan maula
(sahaya yang telah dibebaskan).[4]
Ibnu Taimiyah mengatakan bahwa orang yang paling mengerti dengan tafsir adalah
penduduk Makkah sebab mereka adalah sahabat-sahabat Ibnu Abbas dimana ia
dikenal sebagai sahabat yang paling banyak, paling utama, dalam dalam
pengetahuannya mengenai tafsir al-Qur’an. Rasulullah pernah mendo’akan sahabat
yang satu ini sebagai berikut:
اللّهمّ فقّهه فى
الدّين وعلّمه التأويل
“Ya
Allah, berikanlah pemahaman keagamaan kepadanya (Ibnu Abbas) dan ajarkanlah
tafsir kepadanya.”[5]
Aliran ini berawal dari keberadaan Ibnu Abbas sebagai
guru di Makkah yang mengajarkan penafsiran Al-Qur’an kepada tabiin dengan
menjelaskan hal-hal yang musykil. Para tabiin tersebut kemudian
meriwayatkan penafsiran Ibnu Abbas dan menambahkan pemahamannya serta kemudian
mentransfer kepada generasi berikutnya. Sementara itun dalam hal metode
penafsiran , aliran ini sudah mulai memakai dasar aqli (ra’yu).
b. Aliran Tafsir di Madinah
Aliran ini dipelopori oleh Ubay bin Ka’ab yang
didukung oleh sahabat-sahabat lain di Madinahdan selanjutnya dilanjutkan oleh
para tabiin Madinah seperti Abu ‘Aliyah, Zaid bin Aslam dan Muhammad bin Ka’ab
al-Qurazi.
Aliran tafsir di Madinah muncul karena
banyaknya sahabat yang menetap di Madinah bertadarus al-Qur’an dan sunnah Rasul
yang diikuti oleh para tabiinsebagai murid sahabat-sahabat Nabi melalui Ubay
bin Ka’ab, para tabiin banyak menafsirkan al-Qur’an yang kemudian disebarluaskan
kepada generasi selanjutnya sampai kepada kita. Pada aliran ini telah
berkembang ta’wil terhadap ayat-ayat al-Qur’an dengan kata lain pada
aliran di Madinah ini telah timbul model penafsiran bir ra’yi.
c. Aliran Tafsir di Iraq
Aliran tafsir di Iraq ini dipelopori oleh Abdullah bin
Mas’ud (dipandang ulama sebagai cikal bakal aliran ahli ra’yi) yang memperoleh
perlindungan dari Gubernur Iraq, ‘Ammar bin Yasir, serta didukung para tabiin
Iraq seperti: ‘Alqamah bin Qais, Masruq, Aswad bin Yasir, Murrah al-Hamdani,
Amir Asy-Sya’bi, Hasan al-Bashri, Qatadah bin Di’amah. Secara global, aliran
ini lebih banyak berwarna ra’yi (rasional). Sebagai akibat warna
tersebut, maka timbul banyak masalah khilafiyah (perbedaan) dalam
penafsiran al-Qur’an, yang selanjutnya memunculkan metode istidlal (dedukatif).[6]
Nilai dan Karakteristik Tafsir Masa Tabiin
Kualitas tafsir bi al-ma’tsur pada
periode ini, tentu tidak senilai dengan tafsir yang muncul sebelumnya, baik
dibandingkan dengan tafsir zaman Rasulullah SAW. maupun zaman sahabat. Namun
dari perkembangannya, tafsir tabiin jauh lebih berkembang daripada periode
sebelumnya, terutama tafsir bi al-ra’yi. Karena kualitas tafsir periode
ini, para ahli berbeda pendapat dalam pengambilan hasil tafsiran pada periode
ini, terutama tafsir bi al-ra’yi.
Satu pihak menolak
penafsiran tabiin karena secara kronologis mereka tidak mendengar langsung dari
Nabi Muhammad SAW. atas apa yang mereka tafsirkan. Alasan lain bahwa para
tabiin tidak menyakskan saat turunnya al-Qur’an. Ibnu Taimiyah menyatakan bahwa
pernyataan atau fatwa tabiin tidak boleh dijadikan hujjahmbagi umat sesudahnya.
Adapun hasil ijma’ mereka atas sesuatu dapat dijadikan hujjah. Akan
tetapi apabila terjadi perbedaan pendapat, pendapat yang satu tidak dapat
dijadikan hujjah atas lainnya dan tidak dijadikan hujjah oleh umat sesudahnya.
Sikap terbaik adalah mengembalikan segala permasalahan al-Qur’an dan as-Sunnah
kepada keumuman bahasa arab, atau perkataan para sahabat.
Sementara pihak lain
menerima tafsiran tabiin dengan alasan bahwa kebanyakan tafsiran tabiin itu
berkaitan dengan hasil tafsiran yang dilakukan sahabat. Perkataan ini merujuk
pada perkataan Mujahid maupun Qatadah yang menyatakan bahwa tidak ada satu ayatpun
dari al-Qur’an, kecuali tafsirannya telah didengar dari sahabat. Akan tetapi,
apabila penafsiran itu cenderung menggunakan ra’yu, ia tidak wajib
mengambilnya. Dari dua pendapat diatas, dapat dijelaskan bahwa tafsiran tabiin
pada hakikatnya boleh diambil dan dapat dijadikan sandaran hukum, selama sesuai
dengan al-Qur’an dan as-Sunnah.[7]
Adapun karakteristik
tafsir pada masa Tabiin secara ringkas dapat disimpulkan sebagai berikut:
1. Pada masa ini tafsir belum terkodikasi secara tersendiri.
2. Tradisi tafsir masih bersifat hapalan dan periwayatan.
3. Tafsir sudah kemasukan riwayat-riwayat Israiliyat, karena keinginan
sebagian para tabiin mencari penjelasan yang lebih detil mengenai cerita atau
berita dalam Al-Qur’an.
4. Sudah mulai muncul benih-benih perbedaan madzhab dalam penafsirannya.
5. Sudah banyak perbedaan pendapat antara penafsiran tabiin dan para sahabat.[8]
[1]
Peta Metodologi Penafsiran
Al-Qur’an.h.57
[2]Tim Penyusun, Mukadimah Al-Qur’an Dan Tafsirnya,
(Jakarta: Departemen Agama RI, 2008) h.49
[3]
Mukadimah Al-Qur’an Dan
Tafsirnya.h.51
[4]
Peta Metodologi Penafsiran
Al-Qur’an.h.58
[5]
Mukadimah Al-Qur’an Dan
Tafsirnya.h.47
[6]
Peta Metodologi Penafsiran
Al-Qur’an.h.60.
[8]
Peta Metodologi Penafsiran
Al-Qur’an.h.62.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar